Ode Untuk Department Store
Neiman Marcus—department store asal Dallas, Texas, dan ikon ritel fesyen Amerika Serikat yang berusia lebih dari 100 tahun—mengajukan Chapter 11 bankruptcy. Sebelum saya pelajari dan ketahui apa arti dan implikasi dari pengajuan tersebut, khususnya tentang bagian “Chapter 11”, saya berasumsi bahwa artinya adalah Neiman Marcus, well, bangkrut. Pailit. Gulung tikar. Gone! Tapi, ternyata, pengajuan tersebut—yang dalam sekitar waktu yang sama juga diajukan oleh retailer J.Crew dan JCPenney di AS—mungkin akan menjadi hal yang menyelamatkan legenda tersebut dari likuidasi.
Saya belum pernah berkunjung ke Neiman Marcus. Ketika saya mendapatkan kesempatan untuk pergi ke AS di tahun 2002, tepatnya ke negara bagian Iowa, department store dan mal yang sempat saya kunjungi adalah Nordstrom di Mall of America di kota Minneapolis, negara bagian Minnesota. Jadi, Neiman Marcus bangkrut atau tidak, mungkin tidak ada dampaknya terhadap saya.
Bagaimanapun, berita soal pengajuan yang kini telah disebarkan oleh berbagai kanal berita di seluruh dunia ini membuat saya teringat akan berbagai department store yang kerap saya kunjungi di Jakarta, terutama Central, Seibu, Sogo dan Galeries Lafayette. Ada kalanya, terlepas dari berbelanja atau tidak, saya berkunjung ke Metro atau Sarinah, dua di antara beberapa merek yang asli Indonesia. Saya teringat akan ritual saya setiap kali berkunjung ke department store. Saya teringat akan “rute” yang saya biasa tempuh di dalam areanya yang luas, terdiri dari dua lantai atau lebih. Saya pun bertanya, “bagaimana bila saya kehilangan mereka?”
Dilihat dari segi status, Sarinah adalah ekuivalen dari Neiman Marcus. Sebagaimana Neiman Marcus adalah bagian dari sejarah serta salah satu ikon kota Dallas, negara bagian Texas dan industri mode AS sendiri, Sarinah adalah bagian dari sejarah Jakarta dan industri mode Indonesia. Sudah selayaknya, gedung Sarinah direnovasi dan monumen sejarah Jakarta serta budaya Indonesia itu dihargai.
Oleh karena itu, saya merasa miris ketika melihat Sarinah atau department store lain sepi pengunjung. Saya akui, berapa kali saya berbelanja di Sarinah bisa dihitung dengan jari di sebelah tangan. Meski saya sempat berkantor di dekatnya, saya, seperti ribuan orang setiap hari, justru lebih sering bertransaksi di McDonald’s yang berada di gedung yang sama.
Setiap kali saya ke department store, termasuk ketika niat saya hanya sekadar “lihat-lihat”, saya selalu menemukan bahwa di dalam hati saya terbersit harapan bahwa saya akan melihat orang yang berbelanja, lebih dari sekadar melihat-lihat. Harapan tersebut adalah sebuah perasaan yang kompleks. Bercampur dalam harapan itu adalah rasa bersalah karena tidak berbelanja, rasa iba pada para sales associate yang sudah berdiri berjam-jam namun belum mencapai target penjualan—meskipun mereka masih bisa menghabiskan waktu dengan asyik mengobrol—dan rasa sedih melihat barang-barang yang belum laku.
Kalau kita ingat bahwa industri fesyen adalah salah satu kontributor terbesar polusi yang menyakiti bumi, mungkin saya tak perlu merasa sedih soal tumpukan barang yang didiskon dan tetap tak laku. Kalau kita ingat bahwa para sales associate masih bisa bekerja di toko lain atau di restoran yang terus bermunculan, mungkin saya tak perlu merasa iba pada mereka dan karir yang mereka coba—atau tidak coba—untuk bangun. Kalau kita ingat bahwa department store dimiliki oleh konglomerat yang kaya raya, mungkin saya tidak perlu merasa bersalah soal tidak berbelanja.
Akan tetapi, saya tetap tidak bisa sepenuhnya menepis perasaan itu. Mengapa? Karena, seperti berbagai produk mode yang ada di dalamnya, department store adalah buah dari kreativitas dan kerja dari hati. Hanya karena skala dan modal dibalik sebuah department store jauh lebih besar dari toko mom-and-pop, bukan berarti department store tidak dikelola oleh orang-orang yang peduli.
Apakah Anda pernah berkreasi, menghasilkan sesuatu dengan kreativitas Anda, meski hanya sebuah tulisan seperti ini? Meski tidak untuk dijual, pasti Anda berharap bahwa karya Anda dihargai atau, minimal, dilihat. Dan apabila karya Anda adalah untuk dijual, tentu Anda berharap karya itu dibeli, bukan semata-mata karena pembelian itu memberikan Anda keuntungan, tetapi juga karena pembelian itu memberikan validasi bahwa karya Anda, kreativitas Anda dan segenap passion yang Anda tuangkan ke dalamnya adalah berharga.
Jelas, mayoritas barang yang ada di dalam department store adalah hasil produksi massal dari pabrik dan mesin. Namun, bukan mesin yang memberikan mereka wujud. Wujud mereka lahir dari ide-ide yang dimiliki oleh segenap tim desain, manusia yang berkarya dengan hati. Meskipun kelahirannya dibidani oleh mesin di pabrik, namun nyawa dari barang-barang itu diberikan oleh kreativitas manusia. Kembali ke Sarinah, di sana juga ada aneka hasil kreasi UKM (Usaha Kecil dan Menengah) dan perancang lokal yang jelas tidak diproduksi en masse di pabrik. Bagi para pelaku UKM dan perancang lokal tersebut, termasuk bagi saya, hasil kreasi mereka sangat berarti dan bernyawa.
Membaca artikel-artikel tentang Neiman Marcus dan masalah keuangannya, saya menemukan warga AS bernostalgia tentang pengalaman mereka. Mereka mengenang pelayanan di Neiman Marcus yang diberikan pada standar yang tinggi. Lebih dari itu, mereka mengenang pula bagaimana department store itu membantu mereka menemukan cara untuk mengekspresikan jati diri mereka lewat mode.
Sebagai sebuah ruang atau tempat, department store tak ubahnya kantor, sekolah atau bahkan rumah. Di dalamnya ada berbagai kenangan yang tercipta dari aktivitas manusia, interaksi antar manusia dan interaksi antara manusia dengan benda. Bersikap sentimental terhadap benda adalah manusiawi. Itu sebabnya kita sulit untuk berpisah dengan benda-benda yang paling berarti di masa kecil kita.
Terhadap department store, saya sentimental, karena di dalamnya saya menemukan hal-hal yang saya cintai. Di department store, saya menemukan hal-hal yang membantu saya lebih mencintai hidup dan diri sendiri. Lebih dari itu, saya menemukan hal-hal yang mengekspresikan rasa cinta dan peduli yang saya miliki untuk orang lain.
Kemeja untuk membuat saya merasa lebih percaya diri dan sukses di dalam karir, saya dapatkan dari Central. Mainan untuk keponakan yang berulang tahun, saya dapatkan dari Sogo. Tas dan perhiasan untuk membuat Ibu saya tampil lebih modis, saya dapatkan dari Galeries Lafayette. Hadiah untuk anggota tim saya di kantor, saya dapatkan dari Seibu. Hadiah yang Ibu saya ingin berikan kepada temannya, saya belikan di Sarinah.
Semua itu membuat saya memahami apa nilai dari department store. Oleh karena itu, ketika saya melihat suatu department store sepi, saya bertanya-tanya, “mengapa tidak ada lebih banyak orang yang memahami dan menghargai nilai department store ini?” Belanja fesyen, atau apapun, memang urusan selera, namun apakah sebegitu usangnya koleksi department store hingga kekurangan pengunjung?
Apakah ada benang merah antara penyebab tutupnya Central di Neo Soho, Matahari di Mal Taman Anggrek dan Ramayana di delapan lokasi? Entahlah. Di sektor ritel fesyen, tutupnya gerai yang diakibatkan oleh kurangnya pengunjung sering kali berakar pada perpaduan antara koleksi yang (dianggap) kurang menarik, brand yang (dianggap) tidak lagi keren dan, yang menjadi konteks bagi kedua masalah tersebut, persaingan dengan saluran lain, baik sesama retailer atau e-commerce.
Problem di sektor ritel telah lama dirasakan sebelum COVID-19 dan bukan hanya oleh department store dan gerai-gerai single brand, tetapi juga oleh pusat-pusat perbelanjaan itu sendiri. Bukan hanya kehadiran e-commerce yang melahirkan tantangan bagi sektor ritel, tetapi juga perubahan gaya hidup dimana banyak orang kini beraspirasi untuk memperkaya pengalaman dengan wisata kuliner dan ke berbagai tempat yang bukan mal. Paralel dengan department store yang menjadi rumahnya, industri fesyen itu sendiri juga mengalami masalah penjualan. Itu sebabnya diskon menjadi semakin sering.
Saya tidak tahu apakah department store dapat diselamatkan dan dikembalikan ke masa jayanya. Saya tidak tahu apakah mereka perlu diselamatkan dan dikembalikan ke masa jayanya. Kalaupun perlu, untuk apa, dengan biaya berapa dan bagi siapa?
Sebagai pelanggan, saya tidak ingin department store pergi. Saya tidak bisa mencoba pakaian lewat e-commerce. Lewat e-commerce, saya tidak bisa merasakan lembutnya bahan pakaian yang saya coba dan merasakan jiwa saya dibuat nyaman olehnya. Lewat e-commerce, saya tidak bisa melihat diri saya pada cermin di kamar pas mengenakan sepotong pakaian yang mungkin tidak segera saya beli namun saya menjadi lebih percaya diri dan termotivasi karenanya.
Namun di department store, melalui cermin itu, saya bisa melihat dan merasakan versi yang lebih baik dari diri saya.
Adhi Putra Tawakal | adhiputra_t@yahoo.com